Perkawinan sudah dikenal oleh masyarakat. Sejak awal sejarah kehadirannya di bumi ini hingga tersebar di semua masyarakat umat manusia. Perkawinan merupakan cara untuk menghalalkan sesuatu yang haram dengan adanya akad ijab dan qabul. Terjadinya akad ijab dan qabul mengakibatkan hukum halalnya melakukan jimak antara pria dan wanita, serta adanya tanggung jawab di antara keduanya. Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang perintah untuk menikah terdapat pada surah An-Nur ayat 32:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ[1]
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
Perlu dipahami, bahwa menikah itu tidak hanya ritual menyatukan dua insan yang berbeda, tetapi menyatukan rasa, budaya, pandangan yang terkadang sulit untuk dilalui oleh para pelakunya, lebih-lebih yang masih dalam usia dini atau belum mampu yang belum memiliki kesiapan. Di era sekarang, sudah marak terjadi pernikahan usia dini. Tidak sedikit pernikahan ini terjadi karena adanya MBA (Married by Accident) yaitu hamil di luar nikah.
Secara tidak langsung, pernikahan ini menuntut para pelakunya untuk putus sekolah. Masing-masing suami istri wajib melaksanakan kewajibannya dan saling memenuhi hak-haknya. Bagi suami, ia wajib bekerja yang dimana hasil dari bekerjanya itu akan diberikan kepada istrinya sebagai nafkah. Dari sini, akan melahirkan banyak pekerja di bawah umur yang belum produktif. Selain itu, potensi angka perceraian dapat melonjak. Sangat banyak yang dimungkinkan disebabkan adanya ketidaksiapan pelaku pernikahan usia dini untuk mengahadapi konflik rumah tangga.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. menganjurkan bagi para pemuda untuk menikah dengan syarat telah memiliki kemampuan. Hal ini, disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari. Adapun kualitas hadits ini adalah shahih dan dapat dijadikan hujjah. Adanya hadits-hadits yang setema akan semakin memperkuat status hadits tersebut. Namun, untuk memahaminya perlu adanya kajian khusus, karena jika hanya dipahami secara dhahir hadits ini menjelaskan siapa yang mampu menikah maka hendaklah ia menikah dan siapa yang belum mampu maka hendaklah berpuasa. Kata “mampu menikah” disini masih bersifat umum. Maka, harus dipahami lebih lanjut supaya didapati pemahaman yang tepat.
Oleh sebab itu, penulis akan mengkaji hadits ini dengan metode ilmu ma’anil hadits. Dengan harapan tidak adanya kesalahpahaman dan menangkap maksud hadits tersebut serta diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi setiap pembaca terkhusus bagi penulis. Adapun hadits yang membahas mengenai barangsiapa yang tidak memiliki ba’ah hendaklah berpuasa adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ ، حَدَّثَنَا أَبِي ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي عُمَارَةُ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ ، قَالَ : دَخَلْتُ مَعَ عَلْقَمَةَ والْأَسْوَدِ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْئًا ، فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ ، مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.” (رواه البخاري : 4703)[2]
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Hafsh bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami Al A’masy ia berkata, telah menceritakan kepadaku Umarah dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata, Aku, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah, lalu ia pun berkata, Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi saw. Saat itu, kami tidak memiliki kekayaan apa pun, maka Rasulullah saw. bersabda kepada kami, “Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian yang sudah sanggup untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan (syahwat). Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya.” (HR. Al-Bukhari: 4703)
Hadits riwayat Bukhari di atas mengandung perintah menikah bagi yang mampu dan berpuasa bagi yang tidak mampu, karena adanya pernikahan dapat menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan, sedangkan bagi yang tidak mampu mengadakan pernikahan hendaknya berpuasa karena dapat meredakan nafsunya. Dalam memahami hadits ini, diperlukan kajian khusus untuk mengupas secara kompleks mengenai maknanya.
Rizkysmg: Anjuran Menikah Studi Ilmu Ma’anil Hadits
Pertama, kajian mengenai sabab al-wurud. Dari hadits yang penulis teliti, penulis telah menemukan adanya sabab al-wurud sughra, bahwa kurang lebih dalam matan hadits disebutkan bahwa Abdurrahman bin Yazid, Alqamah dan Al Aswad pernah menemui Abdullah. Lalu, Abdullah berkata bahwa waktu muda dulu mereka pernah berada bersama Nabi saw. yang ketika itu keadaan mereka sedang tidak memiliki kekayaan apa pun, maka Rasulullah saw. menyampaikan sabdanya. Peristiwa atau keadaan yang disebutkan dalam matan hadits menunjukkan bahwa sabda yang disampaikan Rasulullah saw adalah sabda yang sebelumnya sudah tersampaikan kepada Abdullah dan para sahabat lainnya yang waktu itu keadaan mereka masih belum mempunyai kekayaan apa pun.
Kedua, kajian linguistik merupakan pemaknaan matan hadits dengan mempertimbangkan unsur kebahasaan. Kata ma’syara adalah kelompok dan dapat digunakan sebagai sifat bagi segala sesuatu. Sedangkan lafal al-syabab Dalam Kamus Al-Munawwir pada halaman 688 tercantum bahwa kata al-syabab merupakan bentuk jamak dari al-syabb yang berarti anak muda atau pemuda. Selain itu al-syabab memiliki arti menjadi muda, tumbuh, berkembang, menyala, dan berkobar. Dalam kamus yang sama pada halaman 242 menunjukkan bahwa al-syabb bisa diartikan al-haditsu yang berarti pemuda.[3] Dalam kitab Fathul Bari, Al-Qurthubiy menyebutkan bahwa yang dimaksud al-syabab itu terjadi pada orang yang berusia 16 tahun sampai 23 tahun setelah itu memasuki usia kahl.
Selanjutnya lafal man istatha’a. Terma pembicaraan pada hadits ini ditujukan kepada al-syabab, karena pada umumnya adanya dorongan untuk menikah itu terjadi pada usia ini. Tetapi, hal ini tetap berlaku bagi orang tua maupun kakek-kakek selama illat tersebut ada pada mereka. Dalam kamus Al-Munawwir halaman 871 lafal istitha’ah memiliki arti dapat atau mampu. Lafal ini berasal dari akar kata tha’a-yatha’u-thau’an yang berarti tunduk, patuh, atau taat. Lafal istitha’ah sering digunakan dalam dua term, yaitu kemampuan dalam pernikahan dan kemampuan dalam haji. Secara etimologi, istitha’ah adalah kesanggupan atau kemampuan seseorang dalam sesuatu.
Hadits ini menyandingkan lafal istitha’ah dengan lafal al-ba’ah. Lafal al-ba’ah di sini memiliki dua arti yaitu dalam hal finansial dan biologis. Seseorang akan layak untuk melangsungkan pernikahan setelah dua aspek itu terpenuhi. Selain itu, kelayakan seseorang untuk menikah juga harus mempertimbangkan kesiapan mental berupa keinginan penuh dan keridhaan dirinya dan pasangannya untuk menikah, karena hubungan pernikahan tidak semata-mata didasari untuk menghalalkan hubungan fisik dan materi tetapi juga emosi dan mental di mana dalam kehidupan perkawinan memiliki peranan yang sangat besar dibandingkan dengan aspek finansial dan biologis.
Kemudian lafal falyatazawwaj. Lafal fal dalam ilmu Nahwu disebut sebagai amil jazm yang memiliki makna amr (perintah). Jadi makna dari fal yatazawwaj adalah perintah untuk menikah. Dalam kaidah ushuliyah disebutkan bahwa pada dasarnya dalam perintah itu menunjukkan kewajiban kecuali adanya qarinah-qarinah tersebut yang memalingkan arti wajib tersebut. Kaidah tersebut berbunyi sebagai berikut:
الْأَصْلُ فِيْ الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ وَلَا تَدُلُّ عَلَى غَيْرِهِ اِلَّا بِقَرِيْنَةٍ
Dalam hadits, lafal fal yatazawwaj tidak disertai qarinah yang memalingkan makna wajib itu sendiri. Jadi dapat disimpulkan, bahwa bagi para pemuda yang telah memenuhi syarat diwajibkan untuk segera menikah.
Ketiga, kajian konfirmatif. Kajian ini berfungsi untuk melihat ketersambungan hadits yang diteliti dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang lain. Setelah penulis melakukan penelitian di berbagai sumber, penulis menemukan ayat dan hadits yang memiliki kesinambungan dengan hadits yang diteliti, diantaranya:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ[4]
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 32)
Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan, bahwa pada ayat sebelumnya Allah swt memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk ghaddlul bashar (menundukkan pandangan) dan hifdzul furuj (menjaga kemaluan) dari segala sesuatu yang memicu perzinahan. Kemudian, Allah mengiringi perintahnya ini dengan perintah pada ayat selanjutnya yaitu supaya para wali menikahkan para bujangnya (setiap orang yang belum atau tidak memiliki pasangan baik laki-laki maupun perempuan) sebagai wasilah untuk menjaga kelangsungan hidup, menjaga keturunan yang mendorong bertambahnya kasih sanyang terhadap anak-anak. Namun, bagi yang tidak mampu menikah sedangkan ia menginginkannya maka Allah akan mencukupkannya dengan karunia-Nya. Harta itu kadang datang dan pergi, dan beberapa kemudahan akan datang setelah kesulitan. Allah akan melapangkan kesulitan bagi hamba-Nya yang berhati pilu.[5]
Ayat di atas menunjukkan perintah kepada para wali untuk menikahkan para bujangnya, meskipun dalam keadaan miskin dalam artian belum memiliki kemampuan dalam segi finansial. Akan tetapi, Allah swt. yang akan memberinya kemampuan dengan karunia-Nya. Ayat ini terlihat bertentangan dengan hadits di atas, karena dalam hadits menunjukkan perintah menikah diwajibkan bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dalam dua aspek yaitu finansial dan biologis.
Hadits lain yang menjelaskan tentang perintah menikah ialah hadits riwayat dari Bukhori dan Muslim:
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَلَمَّا أَخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوْهَا فَقَالُوْا: أَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-؟ قَدْ غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ وَلَا أَفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا. فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقَالَ: أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَّا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأَفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيِسَ مِنِّي) أخرجه الشيخان[6]
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Ada tiga orang mendatangi rumah para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang ibadahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka telah dikabari, seolah-olah mereka menggangap sedikit ibadahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: Dimanakah kita dari kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Allah telah mengampuni dosa beliau yang terdahulu maupun yang akan datang. Salah seorang dari mereka berkata: Adapun aku maka akan shalat malam terus. Dan yang kedua berkata: Aku akan puasa sepanjang waktu tidak akan berbuka. Dan yang ketiga berkata: Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendatangi mereka seraya bersabda: Apakah kalian yang mengatakan ini dan itu? Adapun aku maka demi Allah adalah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Akan tetapi aku berpuasa namun juga berbuka dan aku shalat malam namun juga tidur dan aku menikahi perempuan-perempuan. Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan dari golonganku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas tidak menunjukkan ketentuan-ketentuan untuk menikah, misalnya harus memiliki kemampuan. Hanya saja hadits di atas menunjukkan sebagai umat Nabi Muhammad saw sangat dianjurkan untuk menikah, sampai-sampai Rasul mengatakan kepada orang yang tidak menginginkan menikah, “Barangsiapa yang tidak suka dengan sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” karena menikah merupakan salah satu dari sunnah Nabi saw.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kewajiban menikah itu dapat dikenakan kepada setiap mukallaf baik dalam keadaan mampu atau tidak. Akan tetapi, bagi orang yang dalam keadaan tidak mampu secara finansial, lebih baik baginya untuk berpuasa. Jika tidak mampu menahan, maka tetap melaksanakan pernikahan dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa Allah akan memampukannya.
Keempat, kajian yuridis. Kajian ini dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, dan asas-asas hukum yang berhubungan dengan penelitian ini. Dari pemaparan di atas, didapati bahwa kemampuan sesorang untuk menikah harus mencakup dua aspek yaitu finansial dan biologis. Karena ada dua aspek ini, maka kemungkinan ada orang yang mampu hanya dalam satu aspek. Jadi bisa saja, menikah yang hukum asalnya adalah mubah, bisa menjadi bervariasi karena berbedanya keadaan para pelaku nikah.
Diantarahukum pernikahan adalah a). Wajib bagi orang yang telah mampu untuk menikah, mencukupi nafkah lahir dan batin, sedangkan ia tidak mampu menahan nafsunya untuk melakukan persetubuhan serta khawatir akan terjerumus dalam perzinahan. b) Haram bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah lahir dan batin namun nafsunya belum mendesak. c) Sunnah bagi orang yang nafsunya telah mendesak dan mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi ia masih mampu menahan diri dari perbuatan haram. d) Makhruh bagi orang yang lemah syahwatnya dan tidak mampu mencukupi nafkah lahir dan batin. e) Mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera menikah.
Jadi, hukum menikah bisa berbeda-beda tergantung pada keadaan pelakunya. Jika ia mampu dalam segi finansial dan biologis maka ia dihukumi wajib. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa perkawinan merupakan sunnatullah. Allah menciptakan manusia berpasang-pasang yang kemudian menghasilkan keturunan ialah untuk melestarikan kehidupan manusia sebagai makhluk Allah dalam menjalankan misi kekhalifahan. Hal ini dijelaskan dalam QS. Adz-Dzariyat: 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ[7]
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 49)
Adanya komunitas kecil yang dimulai dari keluarga dalam kehiduapan rumah tangga yang sakinah akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin di semua tingkatan mulai dari keluarga, masyarakat, hingga bangsa.[8]Untuk memahami perkawinan dalam pandangan Islam, Islam telah merumuskan hal-hal prinsipnya. Diantaranya sebagai berikut a) Perkawinan dilakukan untuk memenuhi perintah agama dan merupakan manifestasi ibadah. b) Adanya ikatan atau perjanjian antara suami dengan istri. c) Adanya pencatatan dalam pernikahan. d) Adanya akibat hukum perkawinan yaitu mewujudkan adanya saling mendapatkan hak dan kewajiban yang seimbang antara suami dengan istri. e) Prinsip tanggung jawab dalam keluarga. f) Prinsip monogami dalam Islam.
Kelima, kajian empirik. Kajian ini digunakan untuk menggambarkan kondisi yang dilihat di lapangan secara apa adanya. Sekarang adalah masa millenium baru. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di segala bidang serta era komunikasi yang ditandai dengan terasa semakin sempitnya dunia. Hal ini karena adanya setiap individu, keluarga, atau pun masyarakat dapat mengakses perkembangan, kemajuan, dan segala pengaruhnya baik positif maupun negatif dari berbagai negara lain dengan mudah. Berbagai masalah keluarga di era ini menjadi sangat kompleks dan bervariasi, diantaranya adalah kemiskinan, kebodohan, seksualitas, ancaman kesehatan, dan berbagai jenis kekerasan.[9]
Keutuhan keluarga menjadi masalah yang sangat memprihatinkan. Di Indonesia angka perceraian dan kekerasan rumah tangga sangatlah tinggi, walaupun bisa jadi kekerasan ini disebabkan karena meningkatnya kesadaran hukum warga Indonesia yang dulunya tidak terungkap. Perceraian keluarga ini, mayoritas dialami oleh pasangan yang usianya tergolong muda, jadi bisa disimpulkan bahwa bisa jadi perceraian disebabkan karena adanya ketidaksiapan atau minimnya bekal pasangan dalam menjalani pernikahan.[10]
Pada awal tahun 2023, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya berita di daerah Ponorogo bahwa di tiga tahun terakhir adanya angka kenaikan permohonan dispensasi kawin dan diisukan ada ratusan pelajar yang mengajukan permohonan dispensasi kawin karena mereka hamil di luar nikah. Namun, setelah ditelisik lebih dalam, alasan mereka mengajukan permohonan dispensasi kawin tidak hanya karena hamil di luar nikah tetapi ada beberapa persen dari mereka karena adanya factor ekonomi dan budaya masyarakat setempat.
Di atas telah disebutkan bahwa usia muda adalah usia dimana nafsu syahwat mempunayi gejolak yang besar, oleh karena itu Rasulullah memerintahkan para pemuda untuk segera menikah. Perintah ini harus dilaksanakan oleh orang yang memang benar-benar siap, baik siap secara fisik, psikis, maupun materi dari dua belah pihak. Sehingga, akan terbentuk keluarga yang sakinah berlandaskan mawaddah dan rahmah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakan bahwa perkawinan adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari oleh makhluk-Nya. Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasang untuk melestarikan kehidupan, melangsungkan fungsi sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Pernikahan ini dibebankan kepada siapa pun yang telah mukallaf dan cukup umur serta mampu, baik secara finansial maupun biologis. Jika pun tidak mampu ia harus berpuasa atau Allah yang akan memberikan karunia-Nya kepada siapa yang mengimani firman-Nya.
- [1] QS. An-Nur: 32
- [2] Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Darul Hadis, Kairo, 2004, hlm. 360
- [3] Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pustaka Progressif, Cetakan III, Surabaya, 1997, hlm. 688
- [4] QS. An-Nur: 32
- [5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Daru Ihya’u Al-Turats Al-‘Aziy, Juz 18, hlm. 101-103
- [6] Imam Bukhari, Op. Cit., Hlm. 359
- [7] QS. Adz-Dzariyat: 49
- [8] Ibid., hlm. 374-375
- [9] Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih 3, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2018, hlm. 352
- [10] Ibid.